Kamis, 29 Januari 2009

Mahasiswa dan Gerakan Golput

Oleh: Rudi Hartono

Pemilu 2009 sudah didepan mata. Ada 34 partai yang dinyatakan lolos oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada 18 partai baru dan 16 yang merupakan partai lama. Pemilu 2009 sendiri, merupakan pemilu ketiga paska reformasi. Bilangan ketiga menunjukkan batas toleransi kepercayaan rakyat terhadap partai-partai untuk memberikan perubahan yang lebih baik. Ada dua deret ukur yang berbeda, yang memperlihatkan derajat yang berbeda mengenai tingkat kepercayaan rakyat terhadap partai politik dan gejala kelahiran partai-partai baru yang begitu bersemangat; tuntutan untuk berdirinya jumlah parpol terus meningkat sedangkan kepercayaan massa rakyat terhadap partai politik kian menipis.

Hal itu kita cermati sebagai gejala bertambahnya apatisme rakyat terhadap kehidupan politik dan menguatnya gerakan golput. Gerakan mahasiswa yang selalu diposisikan sebagai gerakan ekstra-parlementer, gerakan moral yang mengekspresikan kepentingan rakyat, dianggap menjadi salah satu kelompok sosial yang paling rentan dengan sikap golput. Jika benar, maka boleh dikatakan signifikansi jumlah golput dengan ketidakpercayaan rakyat terhadap partai dalam pemilu mendatang akan terus meningkat.

Mahasiswa Dan Kehidupan Politik Saat ini

Ada dua kecenderungan politis dari gerakan mahasiswa saat ini, yakni pertama, gerakan mahasiswa yang mendefenisikan dirinya sebagai pressure group dan tidak memusingkan diri dengan pilihan-pilihan dan afiliasi politik kepartai manapun. Mereka senantiasa menjadi kekuatan gerakan massa di jalanan, merespon isu-isu pokok yang diderita massa rakyat dan dilancarkan menjadi isu politik. Kedua, gerakan mahasiswa yang mendefenisikan dirinya bukan sekedar kelompok penekan, tetapi juga masuk dalam pertarungan politik dengan tidak menanggalkan program perjuangan dan militansinya. Kelompok ini menghendaki perubahan sistemik, harus ada perubahan ekonomi-politik yang radikal, yang memungkinkan transformasi sosial dan ekonomi lebih memihak kepada kepentingan rakyat.

Kelompok pertama merupakan kelompok dominan dan bertengger dalam organisasi-organisasi formal lembaga mahasiswa, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), ataupun lembaga-lembaga kajian non-politis. Mereka berjibaku dalam urusan studi dan sangat minim dalam proses kaderisasi ataupun penguatan organisasionalnya. Sehingga, ketika melakukan sebuah respon politik, itu dilakukannya dengan pola yang begitu spontan dan berjangka pendek. Mereka begitu alergi dengan parpol-parpol, kalaupun ada persinggungan, itu sebatas memenuhi tuntutan mereka menyampaikan aspirasi dan tuntutan aksinya. Akan tetapi, kendati alergi terhadap parpol, mereka kadang juga melakukan lobby-lobby dengan anggota parlemen, partai politik, dan pemerintah, untuk memuluskan tuntutannya. Kelompok ini merupakan kelompok yang paling rentan mengikuti seruan gerakan golput.

Sedangkan kelompok kedua, merupakan unsure minoritas dan umumnya bertengger kepada organisasi-organisasi mahasiswa non-formal, seperti HMI, PMII, IMM, GMNI, LMND dan lain-lain. Kelompok kedua spektrumnya begitu luas berdasarkan pembedaan kecenderungan ideologisnya. Kelompok yang berasal dari geng “Cipayung” umumnya sudah memiliki afiliasi tradisional dengan partai-partai induknya, meskipun tidak ada pengakuan formal dari mereka. Sedangkan kelompok gerakan mahasiswa radikal, yang kelahirannya dibidani oleh gerakan mahasiswa 1990-an yang melahirkan reformasi, memiliki orientasi politik yang cukup radikal. Kelompok radikal inilah yang banyak bergerak mengusung isu kepemimpinan kaum muda dalam panggung politik formal.

Potensi Golput dan Efektifitasnya

di berbagai proses electoral di pilkada, angka golput memperlihatkan kecenderungan meningkat. Kisaran Golput atau tidak menggunakan hak pilih mencapai di atas 30%. Pada Pilgub Jawa Tengah, angka Golput 48%. Sebelumnya Pilgub Sumatera Utara di atas 40%. Demikian juga Pilgub Jawa Barat hampir 40%. Kisaran angka rata-rata dalam Pilgub dan Pilkada mencapai di atas 30%. Pilkada tentu akan menjadi cerminan bagi proses pemilu mendatang, karena komposisi yang bertarung dalam pilkada tidak berbeda jauh dengan pelaksanaan pemilu, bahkan dalam pilkada seharusnya sedikit tertolong dengan lolosnya calon perseorangan.

Di mahasiswa, dengan predikat intelektualnya, potensi golput juga akan cenderung meningkat. Golput sebagai sebuah pembangkangan politik dan gerakan sosial guna menentang dominasi partai-partai lama dan kecenderungan oligharkis tentu mengandung nilai positif, sebagai bentuk pendelegitimasian tatanan “status quo”. Akan tetapi, dalam arena demokrasi liberal, gerakan golput tidak memperlihatkan keuntungan politik yang signifikan terhadap proses perubahan ekonomi dan politik. Demokrasi liberal tidak mendasarkan kualitasnya kepada partisipasi politik, tetapi mendasarkannya kepada mekanisme dan instrument; kalau ada pemilu, ada kompetisi bebas, ada LUBER, ada control dan pengawasan media dan ornop, maka itu sudah dikatakan demokratis.

Signifikansi gerakan golput yang diusung oleh Arif Budiman dan kawan-kawan, tentu sudah sangat berbeda dengan kepentingan golput di jaman sekarang. Tugas utama kaum muda dan mahasiswa sekarang adalah merebut kepemimpinan politik nasional dan menyingkirkan kekuatan lama dalam arena politik. Ini harus menjadi gerakan bersama. Meskipun kita tidak akan melarang kawan-kawan untuk melakukan golput sebagai sikap politik!

Rudi Hartono, Anggota Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), berdomisili di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar